Hingga April 2024, penerimaan pajak yang dicatat oleh Kementerian Keuangan mencapai Rp624,19 T. Jumlah tersebut merupakan 31,38% dari target APBN. Meskipun tumbuh positif dari bulan Januari 2024, penerimaan pajak di beberapa jenis pajak mengalami kontraksi, salah satunya PPh Badan.
Sri Mulyani memaparkan, kontribusi PPh Non migas tercatat sebesar Rp377 T. Jumlah ini mengalami penurunan sebesar -5,43%. Kontraksi juga terjadi pada PBB dan Pajak Lainnya mencapai -22,59%, dan PPh Migas turun cukup dalam mencapai -23,24%.
Penurunan PPh Non migas diakibatkan penurunan PPh Tahunan Badan. Hal ini mencerminkan penurunan profitabilitas di tahun 2023, khususnya sektor komoditas. “Artinya, perusahaan-perusahaan dengan harga komoditas turun, terjadi penurunan profitabilitas, sehingga kewajiban mereka membayar pajak mengalami penurunan, terutama untuk sektor pertambangan komoditas,” jelas Sri Mulyani.
Pada sektor PBB dan Pajak Lainnya, penurunan diakibatkan tidak terulangnya pembayaran tagihan pajak pada tahun 2023. Untuk sektor PPh Migas, menurunnya jumlah lifting migas berdampak pada penurunan penerimaan pajak.
Secara mendetail, PPh Badan mengalami kontraksi -35,5% untuk pertumbuhan neto, dan -29,1% untuk pertumbuhan bruto. Jumlah ini menurun jauh dibandingkan periode Januari-April 2023 yang menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 28,5% secara neto, dan 23,8% secara bruto. Seperti yang disampaikan sebelumnya, hal ini akibat dari penurunan harga komoditas pada tahun 2023 serta meningkatnya restitusi. “Kenapa yang neto kontraksinya lebih dalam, karena ada restitusi,” tambah Sri Mulyani.
Selain PPh Badan, pertumbuhan neto penerimaan PPN Dalam Negeri juga mengalami kontraksi. Penurunan mencapai -13,9% diakibatkan bertambahnya restitusi pada sektor industri pengolahan, perdagangan, dan pertambangan, termasuk juga berasal dari kompensasi lebih bayar dari tahun sebelumnya. Meskipun terjadi penurunan secara neto, pertumbuhan bruto penerimaan PPN Dalam Negeri sebesar 9,2% masih menunjukkan resiliensi konsumsi domestik.